Oei Tiong Ham adalah seorang konglomerat yang dilahirkan di kota Semarang, Jawa Tengah, pada tanggal 19 November 1866. Ia sangat tersohor pada dekade-dekade pertama abad ke 20, sebagai pemilik “Oei Tiong Ham Concern” dan “NV Kian Gwam” yang keduanya berpusat di Semarang dan memiliki sejumlah anak perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan (tebu) , pabrik gula, perbankan dan asuransi, selain di bidang import bahan-bahan pokok. Bisnis utama dan terpenting dari Oei Tiong Ham Concern adalah dibidang eksport gula pasir, dimana untuk kepentingan tersebut, telah dibangun 5 buah pabrik gula, yang semuanya terletak di pulau Jawa, yang kemudian membuat Oei Tiong Ham dijuluki sebagai “Raja Gula”.
Pada puncak kejayaan bisnisnya di dekade 1920-an, total kekayaannya ditaksir mencapai 200 juta Gulden. Namun justru pada periode tersebut, Oei Tiong Ham sudah tidak berada di Indonesia (Hindia Belanda) lagi. Ia meninggalkan Semarang menuju ke Singapura pada tahun 1921, karena perselisihan dengan pemerintah Hindia Belanda mengenai aturan pajak ganda, serta mengenai hukum waris. Undang-undang waris yang berlaku di Hindia Belanda saat itu, mengharuskan pemberian warisan secara merata kepada semua anak, sedangkan Oei Tiong Ham sendiri memiliki kebijaksanaan untuk mewariskan aset-aset perusahaan hanya kepada anak-anaknya (ia punya 26 anak dari 8 istri) yang dinilai mampu meneruskan usahanya. Sedang anak- anak yang lain, yang dinilai kurang mampu berbisnis, tidak diberi hak untuk mengelola perusahaan, dan hanya diberi warisan dalam bentuk uang saja. Namun hukum Hindia Belanda saat itu tidak mengakomodir konsep tersebut, sehingga dia memutuskan untuk pergi ke Singapura, karena Undang-undang waris Inggris yang berlaku di Singapura, sesuai dengan rencana Oei Tiong Ham perihal pewarisan aset-aset perusahaannya.
Pasca meninggalnya Oei Tiong Ham, kendali atas Oei Tiong Ham Concern dipegang oleh salah seorang putranya, Oei Tjong Hauw. Ia berhasil membawa Oei Tiong Ham Concern melewati masa-masa sulit, yaitu “malaise” atau Depresi Besar yang melanda dunia pada akhir dekade 1920-an sampai awal 1930-an, pendudukan Jepang (PD II) dan Perang Kemerdekaan (1945-1949). Relatif berhasilnya Oei Tiong Ham Concern melewati masa-masa sulit, khususnya masa Perang Kemerdekaan/Revolusi ini, antara lain dikarenakan Oei Tjong Hauw (sebagai generasi kedua) tidak hanya berkutat di dunia bisnis saja, namun juga aktif di bidang politik. Ia tercatat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945, sebagai wakil dari golongan minoritas Tionghoa. Aktivitas Tjong Hauw di bidang politik ini membuatnya memiliki relasi yang cukup banyak dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh politik Indonesia.
Namun baru sebentar Oei Tiong Ham Concern memasuki masa yang “tenang” pasca pendudukan Jepang dan Revolusi, yaitu dekade 1950, tiba-tiba Oei Tjong Hwa meninggal mendadak akibat serangan jantung. Meninggalnya Oei Tjong Hauw ini merupakan awal dari proses kemunduran Oei Tiong Ham Concern sebagai sebuah institusi bisnis, sampai akhirnya Oei Tiong Ham Concern tamat riwayatnya pada tahun 1964, tatkala seluruh asetnya disita oleh Pemerintah Indonesia (lewat vonis yang diputuskan oleh Pengadilan Ekonomi Semarang). Seppeninggal Oei Tjong Hauw , tidak ada lagi penerus Oei Tiong Ham Concern yang memiliki relasi dan akses bisnis yang memadai di Indonesia, terutama karena para penerus tersebut sebagian besar tidak berdomisili di Indonesia. Dengan posisi para Direksi yang berada di luar negeri, serta dinamika politik dan ekonomi Indonesia yang makin “memanas” pada tahun 1960-an, maka Oei Tiong Ham Concern menjadi rentan terhadap isu dan tuntutan “nasionalisasi”. Situasi bertambah parah bagi Oei Tiong Ham Concern, saat salah seorang putra Oei Tiong Ham (alm) , Oei Tjong Tjay , memilih “berkoalisi” dengan kubu politik yang “salah” yaitu dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PSI kemudian dibubarkan pada tahun 1960, karena perannya dalam pemberontakan PRRI/Permesta.
Akan tetapi alasan resmi dari pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan hukum thd Oei Tiong Ham Concern bukanlah politik, melainkan tuduhan telah dilakukan pelanggaran dalam peraturan mengenai valuta asing oleh perusahaan tersebut. Setelah proses-proses persidangan di Pengadilan Ekonomi Semarang yang berlangsung selama 3 tahun (1961-1964) akhirnya diputuskan bahwa seluruh asert Oei Tiong Ham Concern disita oleh pemerintah RI. Pemerintah lalu membentuk PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Indonesia Nasional Rajawali Nusantara, yang diberi wewenang untuk mengelola seluruh aset ex Oei Tiong Ham Concern. Sekarang perusahaan ini bernama PT Rajawali Nusindo dan berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Aset-aset pribadi milik keturunan Oei Tiong Ham juga disita , termasuk rumah mewah di kawasan Gergaji (skrg Jl. Kyai Saleh) yang dulu ditempati oleh Oei Tiong Ham dan keluarganya. Rumah tersebut pasca “penyitaan” telah beberapa kali berpindah tangan, untuk waktu yang lama pernah digunakan oleh Kodam Diponegoro dan diberi nama “Balai Prajurit”, kemudian sempat dipakai sebagai kampus sebuah Perguruan Tinggi Swasta. Rumah tersebut, sebagaimana tampak dalam foto diatas, dulunya cukup mewah dan memiliki halaman yang sangat luas sekali, sampai menjangkau kawasan Simpanglima, Pleburan (kampus Undip) , kampung Gergaji dan Jl Pahlawan, Semarang. Pusat pemerintahan Jawa Tengah, yaitu kantor Gubernur Jateng, Pengadilan Tinggi, Kejaksaan Tinggi yang terletak di Jl. Pahlawan, semua atau sebagiannya menempati tanah bekas lokasi halaman rumah Oei Tiong Ham ini. Sepanjang tahun 1920-an sampai menjelang masuknya Jepang, yang sekarang bernama “Jl. Pahlawan” pada masa tsb bernama “Oei Tiong Ham Weg” atau “Jl. Oei Tiong Ham”. (Dikutip dari “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, oleh Benny G. Setiono/Jakarta/2008)
-->
0 komentar:
Posting Komentar