Rabu, 03 September 2008

Antrian orang kaya

Berbekal keyakinan akan prinsip ekonomi 'Collect Early, Pay Late', saya selalu membayar tagihan-tagihan pada tanggal jatuh tempo, istilah kerennya tanggal 'due date', istilah saya sendiri tanggal 'duwe dhuit'. Setiap bayar, selalu ikut berbondong antri dengan para 'late payer' lain, selalu tanggal 20 tiap bulannya. Teman-teman saya selalu heran dan bertanya mengapa saya mau berpayah-payah antri setiap tanggal itu.

"Ngapain gak lewat atm atau kredit kart?" begitu selalu teman saya bertanya. Belum tahu dia kalau pengusaha wira-wiriswasta kelas kirik macam saya begini, tiap tanggal 20 rekening bank sudah minimal dan kartu kredit sudah limit. "Maaf rekening anda tidak mencukupi untuk melakukan transaksi" begitu tulisan di layar atm setiap mau bayar listrik, air dan telepon di akhir bulan. Dengan tagih sana-sini, korek sana-sini, cuthik sana-sini biasanya tanggal 20 jam 09.15 uang cash sudah di tangan dan jam 10.00 saya sudah antri manis di loket-loket pembayaran tadi.

"Gua seneng mengamati antrian orang", jawab saya sok sosioanalis pada teman saya. Tidak sebetulnya bohong memang, karena dari antrian saya banyak melihat karakter orang-orang.

Contohnya, setiap antri bayar, saya bisa melihat berbagai tipe orang kaya. Kenapa orang kaya? Ya ngapain juga ngamati kere? wong saya berpandangan maju dan ke atas. Mau jadi orang kaya. Menurut saya ada 3 karakter orang kaya ditilik dari cara mereka membayar tagihan.

PERTAMA, orang kaya yang siap mental. Idealismenya "BAYAR!". Suatu waktu di antrian PDAM, seperti biasa kasir memanggil sekaligus 5 nama konsumen. Dua di antara yang maju dipanggil adalah seorang ibu paruh baya dan seorang perempuan muda.

Ibu paruh baya lebih dulu.
"Tujuh Ratus sekian puluh ribu", sebut kasir. Ibu tadi sambil menerima secarik rekening, tanpa dibaca, membuka tas, ambil duit dan bayar lalu beranjak pergi.

"Tiga Ratus sekian puluh ribu", sebut kasir pada perempuan muda giliran berikutnya.

"...loh, ini bukan atas nama kantor saya pak!" sergah perempuan muda tadi pada kasir setelah membaca rekeningnya. Kemudian mereka segera tersadar bahwa ibu paruh baya tadi keliru menerima dan membayar rekening milik (kantor) perempuan muda tadi. Untung saja ibu tadi belum sampai ke luar ruangan, sehingga masih bisa dipanggil kembali.

Ketika tahu rekeningnya keliru bayar, ibu paruh baya tadi hanya tersenyum dan berkata, "pantes, biasanya gak segitu". Done. That's it. Dot. Inilah mental orang kaya yang siap kaya, kesampingkan kecerobohan atau mungkin kebodohan, pokoknya BAYAR!.

KEDUA, orang kaya yang tidak siap mental. Idealismenya "TAWAR!". Di waktu lain, di antrian PDAM pula, seorang ibu di depan kasir terkaget-kaget menerima rekeningnya.
"Hah! Sejuta seratus!? biasanya gak lebih dari sejuta!" ujarnya menolak keberadaan deviasi 10% dari suatu perhitungan tak tentu yang sebetulnya terpola.

"Padahal pemakaian sama saja kok! apa tidak salah baca meteran nih?!" tanya ibu lagi.

"...Ibu cek meteran ibu tidak?", tanya kasir.

"Nggak!"

"...Ya cek dulu bu, disamakan, baru kembali lagi bayar", saran kasir.

"Wah kalo besok sudah denda dong!" sergah sang ibu. "Berapa sih dendanya?", tanya ibu itu lagi.

"...Lima Ribu"

"wah (lagi), duit lagi. Hari ini kalau sempat kembali saya bayar tapi kalau besok bayarnya, saya tidak mau didenda!" tawar ibu tadi lagi. Dan perdebatan terus berlangsung sampai akhirnya si ibu bayar juga. Lalu beranjak dari kasir dengan dahi berkerut. Ini menurut saya - walaupun terasa cerdas dan kritis - belum siap mental untuk kaya. Ini juga model orang kaya yang merepotkan penjual jika belanja.

KETIGA, orang yang dipaksa kaya. Idealismenya "LAWAN!". Lagi-lagi di PDAM suatu waktu, seorang ibu (kok ibu-ibu semua ya?) tengah berang di hadapan loket.

"Gila! Dua juta delapan ratus?!! emangnya saya konglomerat yang punya kolam renang apa!??" sambil menggeleng-geleng (dan marah-marah). "Biasanya paling banter dua ratus lima puluh!" lanjut ibu itu lagi keras.

"...itu menurut catatan kami bu", jawab kasir.

"Catatan ngaco!!", potong ibu tadi.

"...silakan komplen ke bagian pencatatan bu", saran kasir lagi.

"Enak aja kamu! saya sudah antri lama tau! kamu aja yang cek!", dengan ekspresi siap menelan sang kasir. Terus melawan dan terus melawan dan melawan lagi sampai datang orang bagian pencatatan ke loket kasir. Ayo bu lawan! Konsumen bersatu tak bisa dikalahkan!

Terakhir, di luar tiga golongan kaya utama tadi ada golongan saya. Golongan belum kaya tapi sok kaya. Di PDAM, saya cuma bayar tagihan abondemen saja karena di rumah sudah ada sumur artesis bersama yang biayanya cuma sepertiga harga air PDAM. Abondemen PDAM cuma Rp.8.400,- makanya saya bayar dua bulan sekali. Walaupun ditambah denda Rp.5.000,- tapi tetap lebih murah daripada bayar tiap bulan yang harus ada pengeluaran parkir, bensin dan korban waktu antri.

Terkadang kasirnya suka iseng bertanya ketika saya membayar. "Rumah kosong ya pak?"

"...iya, makanya suka lupa bayar", bohong saya. "Soalnya punya beberapa rumah yang kosong, jadi suka lupa mana yang belum bayar" makin bohong saya lagi.

"Dicabut saja pak daripada bayar abondemen terus" saran kasir.

"...wah jangan dong, rumah-rumah itu kan untuk bisnis jual-beli, nanti kalau ada yang mau beli jadi susah jual kalo gak ada air", jawab saya makin menggila bohongnya.

Sumber : http://abihaha.blogspot.com (banyak artikel menarik di sini)

klik : bisnis ringan untuk ibu rumah tangga

Trilogi Kiyosaki

Inilah pernyataan menarik yang dilontarkan Robert T Kiyosaki dalam bukunya, 'Rich Dad Poor Dad' (RDPD). Buku ini merupakan karya pertama dari trilogi Kiyosaki, bersama dua buku lainnya, 'Cashflow Quadrant (CQ)' dan 'Rich Dad: Guide to Investing' (RDGI). Dan tentu saja trilogi yang ditulis bareng dengan kawan lamanya, Sharon L Lechter, kini jadi buku 'bestseller' versi 'New York Times.